Beranda | Artikel
BELAJAR DARI RIWAYAT KISAH ARAB BADUI
Minggu, 15 Maret 2009

Imam Muslim rahimahullah meriwayatkan di dalam Shahihnya;

Qutaibah bin Sa’id bin Jamil bin Tharif bin Abdullah ats-Tsaqafi menuturkan kepada kami dari Malik bin Anas (menurut riwayat yang dibacakan di hadapannya) dari Abu Suhail dari ayahnya, dia mendengar Thalhah bin Ubaidillah mengatakan; Ada seorang lelaki yang datang menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang berasal dari penduduk Nejd, rambutnya tidak beraturan, kami bisa mendengar suaranya dari kejauhan namun kami tidak memahami apa yang dikatakannya, sampai akhirnya dia mendekat kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, ternyata dia sedang menanyakan tentang Islam. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun mengatakan, “Jalankan shalat lima waktu dalam sehari semalam.” Lalu dia berkata, “Apakah ada lagi shalat yang wajib selain itu?”. Nabi menjawab, “Tidak ada. Kecuali apabila kamu mau menambah dengan ibadah sunnah. Dan wajib pula bagimu menjalankan puasa bulan Ramadhan.” Lalu dia berkata, “Apakah ada puasa yang wajib bagiku selain itu?”. Nabi menjawab, “Tidak ada, kecuali apabila kamu mau menambah ibadah sunnah.” Dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun menyebutkan kepadanya kewajiban untuk berzakat. Lalu dia berkata, “Apakah ada kewajiban sedekah bagiku selain itu?”. Nabi menjawab, “Tidak ada, kecuali kamu mau melakukan ibadah/sedekah sunnah.” Setelah itu laki-laki itu berpaling seraya mengatakan, “Demi Allah, aku tidak akan menambah selain ini dan aku juga tidak akan menguranginya.” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Dia pasti beruntung jika benar-benar melakukannya.” (Diriwayatkan juga oleh Bukhari dalam Kitab al-Iman, bab az-Zakah minal Islam, hadits no 46)

Dalam riwayat sesudahnya, Imam Muslim membawakan riwayat hadits yang sama namun dari jalan yang berbeda dengan sedikit perbedaan, beliau rahimahullah mengatakan:

Yahya bin Ayyub menuturkan kepada kami, demikian pula Qutaibah bin Sa’id. Mereka berdua meriwayatkan dari Isma’il bin Ja’far dari Abu Suhail dari ayahnya, dari Thalhah bin Ubaidillah dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam serupa dengan hadits tadi yaitu hadits yang diriwayatkan melalui jalur Malik, hanya saja di dalamnya terdapat ungkapan; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Dia pasti beruntung, demi ayahnya, jika dia benar-benar melakukannya.” Atau, “Dia pasti masuk surga, demi ayahnya, jika dia jujur atasnya.”

(Diterjemahkan dari Shahih Muslim yang dicetak bersama Syarh Muslim, 2/22-24)

Ketika menjelaskan hadits ini Syaikh Walid Saifun Nashr hafizhahullah menerangkan bahwa riwayat yang kedua ini berstatus syadz (menyimpang, menyelisihi riwayat lain) disebabkan dua hal :
Pertama; dari segi sanad, karena di dalam rantai periwayatannya terdapat Isma’il bin Ja’far yang padanya terdapat beberapa kekeliruan (wahm)
Kedua; dari segi matan, karena di dalam matannya terdapat ungkapan yang menyelisihi ungkapan yang terdapat dalam riwayat yang lebih kuat (riwayat Malik) yaitu “Dia pasti beruntung, demi ayahnya, jika dia benar-benar melakukannya.” Atau, “Dia pasti masuk surga, demi ayahnya, jika dia jujur atasnya.” Di dalamnya terdapat ucapan bersumpah dengan selain Allah, yang hal itu jelas terlarang. Sehingga alasan sebagian ulama yang mengatakan bahwa ucapan semacam itu bisa ditolerir karena ia merupakan ucapan yang biasa terlontar di kalangan orang-orang Arab merupakan alasan yang tidak bisa diterima. Namun, masih tersisa pertanyaan; lalu mengapa Imam Muslim mencantumkan riwayat ini? Syaikh Walid mengatakan bahwa hal itu dimungkinkan karena Imam Muslim ingin menunjukkan kelemahan riwayat yang kedua ini dengan menyebutkannya setelah riwayat pertama dari perawi yang lebih kuat yaitu Imam Malik. Masih menurut Syaikh Walid, di antara ulama yang menyatakan syadznya tambahan ‘wa abihi’ (demi ayahnya) ini adalah Ibnu Abdil Barr (dalam at-Tamhid, ed) dan Syaikh al-Albani di dalam as-Shahihah.

Di dalam as-Shahihah [6/696] Syaikh al-Albani rahimahullah mengatakan, “Tambahan tersebut adalah syadz/menyimpang, sebagaimana telah saya terangkan di dalam ad-Dha’ifah 4992.” (as-Syamilah)

Di dalam ad-Dha’ifah Syaikh al-Albani rahimahullah memberikan penjelasan panjang lebar mengenai status tambahan riwayat ini. Di antaranya beliau mengemukakan persoalan kontradiksi yang mungkin muncul ketika menyikapi tambahan ini; apakah padanya diberlakukan kaidah ziyadatu tsiqah maqbulah (tambahan dari perawi yang terpercaya harus diterima) atau mukhalafatu tsiqah li man huwa autsaqu minhu mardudah (apabila seorang perawi yang terpercaya menyelisihi perawi lain yang lebih terpercaya maka riwayatnya ditolak)? Untuk menjawabnya beliau menjelaskan bahwa pada hakikatnya tidak ada kontradiksi antara kedua kaidah ini. Sebab kaidah yang pertama berlaku jika kedua perawi tersebut memiliki tingkat ketsiqahan dan kekuatan penjagaan riwayat yang setara, sedangkan kaidah kedua diterapkan apabila perawi yang satu lebih kuat dan lebih terpercaya dibandingkan yang lainnya. Sehingga hadits yang dibawakan oleh perawi yang lebih kuat disebut hadits mahfuzh, sedangkan hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang lebih lemah disebut hadits syadz. Kemudian Syaikh al-Albani mengemukakan tiga alasan yang mengunggulkan riwayat Malik (riwayat pertama) di atas riwayat Isma’il bin Ja’far (riwayat kedua), yaitu :

Pertama; Imam Malik lebih tsiqah daripada Isma’il. Hal itu berdasarkan pernyataan Imam Bukhari ketika ditanya tentang sanad yang paling sahih, maka beliau menjawab; yaitu dari jalan Malik dari Nafi’ dari Ibnu Umar. Demikian pula perkataan Abdullah putra Imam Ahmad, “Aku pernah bertanya kepada ayahku; siapakah sahabat az-Zuhri yang paling kuat periwayatannya?”. Maka dia menjawab, “Malik adalah periwayat yang paling kuat dalam semua jalur periwayatan.”

Kedua; Imam Malik tidak menyelisihi riwayat perawi yang lain sedangkan Isma’il menyelisihi mereka

Ketiga; Banyak riwayat yang menjadi syahid/penguat atas riwayat Malik, kemudian Syaikh al-Albani menyebutkan jalan-jalan riwayat tersebut dari Anas bin Malik, Abu Hurairah, dan Ibnu Abbas. Dan di dalam semua riwayat tersebut tidak ada tambahan kata-kata ‘Demi ayahnya’.

Demikian ringkasan dari keterangan beliau (kami sarikan dari Silsilah ad-Dha’ifah juz 10 yang terdapat dalam al-Jami’ al-Muyassar li Mu’allafat Syaikh al-Albani, islamspirit.com).

Penggunaan kata ‘Demi ayahnya’ merupakan bentuk sumpah yang tidak dibenarkan, sebab Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya Allah melarang kalian bersumpah dengan menyebut ayah-ayah kalian. Barangsiapa yang hendak bersumpah hendaknya dia bersumpah dengan menyebut nama Allah, kalau tidak mau maka hendaknya diam.” (HR. Bukhari dan Muslim dari Ibnu Umar radhiyallahu’anhuma). Dengan disebutkannya hadits larangan ini di dalam Shahih Muslim maka jelaslah bahwa beliau pun berpendapat demikian -yaitu tidak bolehnya bersumpah dengan menyebut orang tua- maka sebagaimana kata Syaikh Walid pencantuman riwayat dengan tambahan ‘wa abihi’ sangat dimungkinkan karena beliau ingin menjelaskan penyelisihan riwayat yang ada di dalamnya dan mengisyaratkan bahwa tambahan ini adalah syadz, wallahu a’lam. Wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi wa shahbihi wa sallam. Walhamdulillahi Rabbil ‘alamin.


Artikel asli: http://abumushlih.com/belajar-dari-riwayat-kisah-arab-badui.html/